Selasa, 16 Desember 2014

HIJAB, CAHAYA HATIKU



Ini adalah kali pertama dimana aku benar-benar berani mengambil keputusan. Bahkan saat aku sadar bahwa keputusanku ini, tidak di setujui banyak pihak. Bermula saat aku memasuki tahun ajaran baru di SMA. Ada banyak sekali keunikan di SMA ini. Saat pertama kali registrasi, aku sudah harus dihadapkan pada tes bacaan Al-Qur’an. Di nasehati banyak hal mengenai bacaan Al-Qur’an ku yang masih tidak sesuai, terutama tentang tajwid. Pada saat pemilihan baju seragam, aku disodori dengan pakaian batik lengan panjang. Padahal, aku bisa memilih batik yang lengan pendek saja. Toh, inipun bukan sekolah aliyah ataupun pesantren yang mewajibkan seluruh siswinya untuk berjilbab, kan? Gumamku.
Sesampainya di rumah, aku menyiapkan segala hal untuk awal masuk sekolah. Akupun memeriksa beberapa dokumen yang diberi oleh sekolah untuk semua siswa baru. Akupun membaca peraturan sekolah yang menurutku sungguh aneh. Terutama untuk poin nomor 5 ini “siswa perempuan yang mengenakan rok panjang, wajib mengenakan baju lengan panjang dan berjilbab. Apabila di temukan pakaian lengan pendek dengan rok panjang, maka akan di kenai sanksi.” Dengan baju batik lengan panjang yang ku dapat, apakah aku harus mengikuti peraturan ini? Akhirnya aku memilih untuk memotong lengan baju batikku, menjadi lengan pendek. Baju lengan pendek inilah yang akhirnya menjadi keseharianku di sekolah.
Masa orientasi siswa barupun, dimulai. Aku jalani semua kegiatan MOS dengan penuh keharuan. Terutama pada acara puncak, yaitu kegiatan ESQ oleh bapak Aris Ahmad Jaya. Dari kegiatan ini, aku mendapat banyak sekali hal positif yang secara diam-diam menelusuk ke dalam hatiku. Di akhir acara ESQ, Pak Aris meminta semua anak untuk menuliskan surat yang berisi segala keinginan kita untuk membahagiakan orang tua. Aku sungguh bingung ingin menuliskan apa. Jangankan untuk membahagiakan orang tua, bahkan aku saja selalu mengecewakan diriku sendiri. Dalam penuh kebingungan, akhirnya akupun menulis singkat. “Ayah, Ibu, aku tau sudah terlalu banyak kesalahan yang sering aku perbuat. Sudah terlalu banyak kata-katamu yang selalu aku bantah. Tetapi kali ini, izinkan aku mengungkapkan segalanya. Mimpiku, harapmu, masa depan. Meski rasanya mustahil. Aku ingin menjadi seseorang yang dapat membuatmu merasa bangga. Aku ingin meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Bukan sekedar untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Tetapi aku ingin, menjadi kakak yang mampu mendidik adik-adik ku dengan pendidikan yang lebih baik. Dengan segala pendidikan moral yang lebih baik. Akupun ingin menjadi kakak yang kuat, tangguh, dan membanggakan. Karena jika kalian nanti tiada, aku bisa menjadi pemimpin yang baik untuk adik-adik ku. Menjadi kakak yang pantas di teladani dan ditiru. Maafkan anakmu yang selalu melukai dan mengecewakan kalian.” Kulipat kertas itu, dan ku serahkan pada panitia MOS. Tidak peduli lagi, meski surat itu katanya akan diserahkan langsung kepada orang tua kita masing-masing.
Usai acara ESQ, seluruh siswa bubar. Bersiap untuk mengikuti outbound. Akupun bergegas menyiapkan diri, berganti pakaian dan sepatu. Hingga secara tidak sengaja aku bertemu dengan seorang gadis berjilbab. Dia Nampak resah mencari rekannya yang hilang diantara kerumunan siswa lain. Namanya Rima. Pertemuan pertama yang hangat. Hingga akhirnya kami terpisahkan oleh suara sirine yang mengharuskan kami semua berkumpul di aula. Kamipun mendengarkan semua peraturan outbound, kemudian mengikuti kegiatan outbound dengan penuh semangat.
Kegiatan outbound  dan MOS pun usai, ditutup dengan do’a oleh guru agama kami, pak Zeky. Seminggu kemudian, kegiatan belajar disekolah pun dimulai. Aku banyak mendapat teman baru. Dan lagi-lagi aku bertemu dengan gadis itu. Gadis berjilbab bernama Rima. Jam istirahat, kamipun akhirnya saling menyapa. Hingga akhirnya akupun tau, teman dekatnya yang dulu ia cari. Namanya Juwita. Dan akupun dikenalkan dengan teman yang satunya lagi. Dastiyana. Setelah pertemuan ini, kami menjadi semakin akrab. Akupun merasa nyaman dengan lingkungan di SMA ini. Lebih bersahabat, lebih islami, bahkan aku sempat kagum pada kakak-kakak kelas yang berjilbab panjang. Mereka nyaman sekali dengan jilbabnya, tetap berprestasi dalam pelajaran. Perjalanan demi perjalanan kami lalui. Dipertengahan semester pertama, kami ditawari beragam kegiatan ekstrakulikuler yang ada di sekolah. Aku memilih mengikuti paskibra. Sementara ketiga temanku memilih Rohis. Sebenarnya, ingin sekali bergabung bersama organisasi Rohis. Namun, apakah pantas? Bukankah Rohis itu perkumpulan untuk perempuan-perempuan berjilbab dan lelaki yang paham banyak tentang agama? Sementara aku? Akhirnya ku urunkan niatku untuk memasuki Rohis, dan tetap melangkah bersama Paskibra. Setidaknya, mungkin aku lebih pantas disana.
Kebersamaan kian berjalan. Seiring dengan keterpisahan kegiatan masing-masing diantara kami. Aku dengan Paskibra, dan mereka dengan Rohis. Semua berseberangan. Namun, persahabatan tetaplah persahabatan. Kami memilih menghargai kegiatan satu sama lain. Meski banyak sekali rasa iri saat ku lihat asyiknya para anak Rohis. Terutama saat acara Bazar Tahunan Sekolah, menjelang bulan Ramadhan. Mengadakan banyak sekali acara sosial, keagamaan, dan masih banyak lagi. Sementara paskibraku, hanya sekedar panas-panasan, push-up, dan banyaknya bimbingan mental layaknya seorang calon ABRI. Aku akui, disekolah ini meski tidak masuk Rohis. Aku tidak perlu khawatir kekurangan ilmu agama. Karena disini, seluruh siswa muslim diwajibkan untuk mengikuti kegiatan mentoring seminggu sekali. Namun aku merasa, itu belum cukup. Akhirnya aku lebih banyak mendekat pada kakak-kakak Rohis. Akupun menjadi lebih aktif bertanya, ketika mengikuti kegiatan mentoring. Bertanya banyak tentang islam. Dan yang membuatku kagum, Mereka para mentor tidak memandang sebelah mata kepadaku yang belum berjilbab. Mereka menjawab segala pertanyaan keingintahuanku seputar islam. Memandangku sama, tidak membedakan atau memprioritaskan seorangpun. Akupun terinpirasi ingin menjadi seperti mereka saat aku sudah lulus dari sekolah ini. Akupun ingin, mengajarkan banyak hal tentang Islam kepada adik-adik kelasku, terutama untuk adik-adikku sendiri. Semoga suatu hari nanti aku bisa menjadi seperti mereka. Meski kini aku masih butuh banyak belajar.
Aku bukan hanya lebih aktif di mentoring, kini ketiga temanku selalu saja mengajakku untuk ikut serta disetiap rapat Rohis. Dengan berbagai cara, selalu aku tolak. Aku malu. Malu, saat aku tau bahwa mereka telah tegas memutuskan untuk menutup aurat sebagaimana mestinya. Sementara aku? Baju batik lengan panjang saja, malah aku potong pendek. Namun ajaibnya, aku mulai mencoba mengenakan jilbab, setiap aku mengikuti latihan paskibra. Karena aku ingin menjaga auratku, ketika aku kena hukuman push-up oleh para kakak kelas. Itu saja. Tetapi semua niat baik, tidak semulus yang kita mau. Para kakak paskib, terkejut saat melihat foto di buku paskibraku. Aku tidak berjilbab. Berbagai sindiran pun datang. Mereka menyangka, aku berjilbab dipaskib hanya karena aku takut jika suatu hari rambutku wajib “dipotong Dora” saat kami akan mengikuti LKBB. Alasan yang picik!!! Namun, tak lagi ku hiraukan segala kicauan mereka. Aku janji, aku akan berjilbab sepenuhnya. Tetapi tidak saat ini.
Menjelang Ramadhan, aku terserang Alergi yang aneh sekali. Padahal, semula aku tidak pernah alergi. Terutama saat dokter bilang bahwa aku alergi dingin. Dokterpun menyarankan aku untuk memakai pakaian lengan panjang saat pagi hari. Aku kesal dengan vonis itu. Aku tidak suka memakai jaket ataupun sweeter. Akhirnya dengan terpaksa aku memutuskan untuk memakai baju lengan panjang ke sekolah. Meski itu berarti, aku juga harus mengenakan jilbab ke sekolah. Berjilbab yang masih bolong-bolong. Karena aku memutuskan untuk sehari berjilbab sehari tidak berjilbab.
Disekolah, semua teman-teman mengira, aku sudah resmi memutuskan untuk berjilbab. Mereka menyelamatiku. “Alhamdulillah, sekarang Nurul sudah berjilbab. Selamat ya, semoga langgeng.” Sahut mereka padaku. Namun aku hanya senyum dan menimpal, “belum kok, ini karena lagi sakit aja. Jadi harus pakai yang panjang-panjang.” Berbagai wajah kecewa, ku lihat pada mereka. Ramadhan pun datang. Berbagai kegiatan kerohanian memadati rutinitas para siswa. Sanlat, mentoring, pengajian. Lain lagi dengan para anak Rohis, yang lagi-lagi kebanjiran banyak kegiatan. Mengurus menjadi panitia sanlat, I’fthor jama’i, panitia Zakat, Kultum setiap dzuhur, juga membenahi seluruh kegiatan mentoring. Aku iri. Iri sekali.
Ramadhan pertamaku di SMA ini, membuatku banyak terdiam. Aku berpikir banyak hal. Tersadarkan banyak peristiwa. Aku harus melakukan perubahan. Sekecil apapun. Ramadhan kali ini, harus menjadikan aku pribadi yang baru. Pribadi yang lebih dewasa. Akupun memutuskan untuk memakai jilbab, meski hanya di lingkungan sekolah. Tidak lagi memakai jilbab dengan jadwal yang bolong-bolong. Harus. Ini perubahan pertamaku. Bismillah. Setelah libur lebaran nanti, mereka tidak akan lagi melihat Nurul yang memakai jilbab karena sakit. Inilah Nurul, jiwa baru yang selalu mencoba menjadi lebih baik, dengan jilbab ini.
Liburan sekolah pun usai. Seluruh siswa kembali belajar setelah lama sekali liburan semasa lebaran. Dan aku, datang dengan adanya perubahan. Keterkejutan Nampak dari Rima, teman baikku. Dia tidak percaya bahwa obrolan kami semasa Ramadhan lalu, adalah sebuah janji perubahan. Kini akulah Nurul, jiwa yang baru dengan jilbabku. Hari-hari terasa lebih indah dengan jilbabku. Begitu pula dengan paskibku. Aku sudah mengganti semua foto di buku paskibku, dengan wajah baru ini. Tidak perlu lagi ada sindiran. Aku berjilbab karena kewajiban, bukan karena rasa takut dengan rambut yang wajib “dipotong dora”. Akupun mengganti seluruh seragamku, dengan lengan panjang. Tidak peduli biaya yang harus ku keluarkan sendiri. Terutama untuk membeli baju batik baru lengan panjang. Karena inilah konsekuensi yang diberikan orangtua ku, atas keputusanku awal masuk sekolah kemarin. Keputusan untuk memotong seragam batik menjadi lengan pendek.
Kini tiba saat aku memasuki dunia kelas 2 SMA. Rutinitas demi rutinitas kami jalani. Sampai pada kesempatan dimana aku bisa untuk mendaftarkan diri sebagai anak Rohis. Aku mengikuti kegiatan pelantikan pengurus Rohis yang dilaksanakan selama dua hari. Kebersamaan, kehangatan, ketenangan hati, dan kekeluargaan yang begitu lekat. Bahkan aku merasa lebih nyaman berada di sini. Lebih bisa menjiwai dan memaknai segala arti kehidupan. Di kelas dua ini, banyak sekali perubahan rutinitas yang aku jalani. Dimulai dari diriku yang lebih menyibukkan diri di lingkungan Rohis. Kegiatan paskibra pun, aku lepas. Dunia baru di Rohis memberikan banyak perubahan pada hatiku, sikapku. Setidaknya, pengetahuan agamaku pun sedikit bertambah. Kegiatan mentoring, bukan hanya menjadi kewajiban yang harus aku ikuti. Tetapi kini, aku dan teman-temanku di Rohislah yang mengurus segala keperluan mentoring. Mulai dari pengaturan jadwal monitoring, absensi mentoring, sampai menghubungi kakak-kakak alumni untuk diminta sebagai mentor para siswa. Aku senang. Lingkungan hidupku kini menjadi lebih baik, lebih menyenangkan.
Namun sayangnya, segala bentuk perubahan tidak serta merta diterima oleh semua pihak. Sekecil apapun. Aku mencoba untuk mulai membiasakan diri berjilbab di lingkungan rumah. Walau terkadang aku hanya mengenakan jilbab ketika akan bepergian jauh saja. Tetapi, keluargaku menentang. Terlebih Ibu. Jilbab masih dipandang sesuatu yang aneh. Meski mereka muslim dan tau bahwa perintah berjilbab tertulis dalam Al-Qur’an. Bukan hanya ayah dan ibu, namun nenek dan saudara-saudaraku pun, masih memandang jilbab sebagai sesuatu yang hanya dikenakan pada situasi-situasi tertentu saja. Aku kecewa. Karena setidaknya, aku ingin tetap menutup aurat ini kepada semua orang yang bukan muhrimku. Bukan hanya sekedar jilbab yang dipakai ketika akan bepergian jauh saja. Pertentangan demi pertentangan terjadi. Aku memilih diam, bungkam. Aku tau, banyaknya pembicaraan justru malah membuatku semakin tersudutkan. Hari demi hari terlalui dengan berbeda. Bahkan saat adikku yang pertama, mengolokku ketika tau wajahku belang lantaran ada bagian yang selalu tertutup jilbab, dan bagian yang selalu terkena matahari. Semua orang tertawa, akupun tertawa. Tetapi tidak dengan hatiku. Hatiku berharap, situasi ini hanya sementara. Bahwa jika waktunya tiba, segalanya akan diterima baik.
Tahun ini, adikku memasuki tahun pertamanya di SMP.  Senangnya aku, ketika tau bahwa adikku lebih memilih sekolah pesantren dibanding sekolah biasa sepertiku. Setidaknya, keinginan adikku untuk berjilbab sudah mulai ada dari dirinya sendiri. Pertengahan kelas dua SMA, ada banyak pemberitaan tidak mengenakkan tentang islam. Dimulai saat adanya pengeboman di berbagai daerah di Indonesia oleh para teroris, adanya sistem cuci otak, sampai adanya kajian-kajian agama yang banyak menyimpang. Pemberitaan ini, membuat seluruh organisasi pergerakan islam dicap sebagai kajian-kajian pembentuk para teroris. Termasuk Rohis. Bahkan keluargaku, dan tetangga-tetangga di rumah, semakin menatap sinis akan jilbabku, kegiatan Rohisku. Terlebih saat aku memutuskan untuk sedikit memanjangkan jilbabku menjadi lebih tertutup. Semua kegiatan Rohisku semakin dibatasi. Segala sesuatunya menjadi dipermasalahkan. Aku tidak lagi bebas dan bahagia dengan Rohisku. Namun, bagaimanapun aku harus bertahan dengan jilbabku. Demi aku, adikku, dan keselamatan orangtua ku.
Syukurlah pemberitaan ini kian menyurut. Meski sorotan sinis orang-orang disekitarku tentang Rohis, masih ada. Aku bertahan. Hingga sampai pada saat ibu memarahiku karena aku masih mengenakan jilbab meski hanya di lingkungan rumah. Entah bagaimana caraku menjelaskan semuanya pada ibu. Saat itu. Ibu menganggap jilbab pakaian yang hanya dikenakan ketika kita akan bepergian jauh dari rumah. Sementara hakikat jilbab tidak seperti itu. Aku bertahan, apapun komentar ibu. Aku harus kuat, demi adikku yang baru saja menemukan dunia barunya dengan jilbab. Sampai suatu ketika, ibu meminta adikku untuk tidak memakai jilbab di lingkungan rumah. Apalagi bila nanti dia sudah lulus dari pesantren. “Itu Teh Mila aja yang pesantren, pas udah lulus mah ga pake jilbab kok. Kamu ngapain juga pake jilbab?” ketus ibu pada adikku. Aku diam, bingung sekali harus bersikap bagaimana. Bila saat itu aku membela adikku, jelas-jelas itu tidak akan memperbaiki keadaan. Malah memperburuk. Akhirnya aku biarkan. Berpura-pura tidak peduli. Sampai akhirnya adikku meminta solusi atas permintaan Ibu kemarin. “Kak, ibu minta Lisa ga usah pake jilbab pas nanti udah lulus. Menurut kakak, Lisa harus gimana?” Tanya adikku. Aku bingung harus menjawab apa. bukan karena aku tidak punya jawaban. Namun disaat yang bersamaan, aku tau Ibu ikut mendengarkan pembicaraan kami. Meski terlihat sudah tidur. Akhirnya dengan sedikit kata-kata yang seolah tidak peduli, aku jawab “coba kamu tanya aja sama ustadzah kamu baiknya bagaimana. Kalau kata ustadzah boleh lepas jilbab, ya kamu ikutin aja. Itukan ustadzah kamu.” Aku tau, setidaknya jawaban pura-pura tidak peduliku, bisa menjadi pertimbangan adikku untuk tidak mengikuti permintaan Ibu. Karena, mana mungkin ada ustadzah yang menyarankan santrinya untuk melepas jilbab?
Setahun berlalu, kini adikku mulai semakin terbiasa dengan jilbabnya. Akupun sedikit lega, karena Ibu tidak lagi banyak berkomentar tentang jilbab kami. Aku harap, semoga Ibupun nantinya bisa mengikuti kami memakai jilbab. Mulai terbiasa. Keseharian rutinitas Ibu yang harus menjenguk adikku di pesantren, membuat Ibu lebih sering memakai jilbab ketika akan keluar rumah. Apalagi, ketika aku dan ibu sering jalan bareng untuk membeli keperluan adikku di pesantren. Ibu menjadi lebih terbiasa bepergian menggunakan jilbab, meski hanya sekedar saat berada bersamaku dan adikku. Setidaknya itu lebih baik. Apalagi keinginan itu atas dasar kemauan ibu sendiri, meski sedikit terpaksa. Hingga suatu ketika, terlontar sendiri dari mulut ibu, yang membuatku cukup senang. “Nu, sekarang Ibu kemana-kemana harus pake jilbab kalo setiap jalan sama kamu dan Lisa.” Aku diam tidak berkomentar. Cuma tersenyum dan berucap syukur dalam hati. Alhamdulilllah… aku bersyukur sekali akhirnya ibu mau menyadarinya sendiri. Aku harap ini permulaan yang baik dari keadaan sebelumnya. Aku sudah berhasil membuat adik dan Ibuku mau memakai jilbab karena kesadarannya sendiri. Meski tentu saja, masih perlu banyak belajar. Akupun terus optimis bahwa selanjutnya, akan ada banyak orang lagi yang terinspirasi untuk mengenakan jilbab. Setidaknya mereka sudah berhenti berpandangan bahwa jilbab adalah sesuatu yang tabu. Dan aku bisa mengenalkan lebih banyak tentang islam, kepada semuanya. Dimulai dari lingkungan rumah, sekolah, bahkan lebih luas lagi.
Kini, aku menginjak kelas tiga SMA. Ada banyak target yang harus aku capai. Mendapat nilai rapot yang baik, nilai ujian yang baik, dan lulus sekolah dengan nilai yang tidak mengecewakan. Satu lagi yang harus selalu ku ingat yaitu janjiku saat awal sekolah. Janji saat aku mengikuti ESQ. Aku harus kuliah. Orangtuaku kini sudah lebih menuntut ku memikirkan lebih dewasa tentang perkuliahan. Namun aku, belum ada gambaran sedikitpun harus melanjutkan kuliah kemana. Aku istikharah setiap sepertiga malam. Dikelas tiga SMA ini, aku menjadi semakin dekat dengan Allah setiap malam. Saat semua makhluk tertidur pulas. Aku mendekat, meminta yang terbaik. Ku ingat lagi semua dosaku pada kedua orangtuaku. Aku memohon ampun. Banyak sekali sikapku yang selalu melawan mereka, menyakiti hati mereka. Apalagi saat perseteruan mengenai jilbab ini. Aku malu, merasa sangat berdosa. Ku bersihkan hatiku, menangis selama yang aku mau. Hingga akhirnya aku merasa lebih lega, bersih. Ku munajatkan seluruh harap dan pinta padaNya, Sang Maha Kaya, Maha Pemurah.
Akhirnya aku memilih IPB, meski itupun atas dasar permintaan ayah. Aku harap, disana adalah tempat yang terbaik. Setidaknya aku bisa menjadi lebih dewasa dalam memandang kehidupan. Sebelum lulus SMA dan hijrah ke IPB, aku ditawari untuk menjadi pengisi mentoring di SMA ku selama beberapa tahun ke depan. Aku dipilih menjadi salah satu kandidat dari keseluruhan anak Rohis. Mungkin seharusnya aku bahagia, karena ini salah satu impianku semasa awal SMA. Tetapi hatiku lebih memilih sebaliknya.  Aku tau, keberpihakan ku kembali pada lingkungan Rohis, akan membuat Orangtua ku kembali khawatir akan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan Islam yang masih ada saat ini. aku memilih menghindar, berdiam. Aku rasa, saat ini aku cukup menjadi sutradara dibelakang layar saja, demi menyelesaikan misiku. Membuat segalanya menjadi diterima sempurna, untuk menjadikan jilbab sebagai budaya yang seharusnya lebih dijiwai para muda-mudi islam, calon pemimpin masa depan. Islam harus bangkit, maju. Dimulai dari diriku sendiri, di keluargaku.
Kini, di awal semester pertama kuliahku, terasa begitu berat dan membuatku agak terkejut tidak siap. Sebebas inikah dunia perkuliahan? Sebebas inikah jalan menuju jiwa-jiwa kedewasaan? Awal kuliah ini, aku teramat hati-hati memilih teman. Aku tidak mau salah jalan karena memilih teman yang tidak sesuai dengan hatiku. Membuatku menjadi terasing dengan diriku sendiri. Akupun mendapat empat teman baik dikampus, satu jurusan. Seperjalanan kuliah, aku kembali ditawari pilihan untuk bergabung dengan Rohis, oleh temanku bernama Else. Sungguh, aku ingin sekali menikmati indahnya dunia itu. dimana segalanya terasa tentram, terasa selalu dekat padaNya. Tetapi, aku harus kuat dengan duniaku tanpa Rohis. Aku khawatir, kejadian semasa SMA kembali terulang. Aku tidak ingin berseteru lagi dengan Orangtuaku. Perseteruan yang seharusnya tidak pernah terjadi. Aku melangkah mundur dari segala bentuk kegiatan Rohis. Lebih memfokuskan diri untuk menyelesaikan kuliah.
Tibalah kini saat yang dinanti semua mahasiswa. Semester akhir, sidang kelulusan dan wisuda. Sekarang aku sedang ditahap persiapan sidang. Aku selalu berharap yang terbaik, melakukan yang terbaik sebisaku. Hingga akhirnya aku dinyatakan LULUS. Aku langsung mempersiapkan diri untuk mengurusi segala berkas untuk syarat wisuda. Allah, terima kasih telah mengizinkan aku sampai tahap berbahagia ini. Nuansa wisuda terasa begitu menyentuh, haru. Tidak terasa sampailah aku untuk terjun ke dunia kerja. Membuatku menjadi lebih dewasa dan lebih bisa menghargai waktu. Dunia kerja yang selalu penuh tantangan, terutama dalam menghadapi dan bertemu orang-orang baru, kebudayaan baru. Namun aku senang ditempat kerja ini. aku bersyukur dan aku bahagia. Dan satu lagi kabar baiknya. Kini saudara-saudaraku sudah banyak yang mulai membiasakan diri dengan jilbabnya. Yang paling membahagiakan adalah, adik kecilku yang berusia tujuh tahun pun, kini mulai mengikuti caraku memakai jilbab. Ah sungguh, anak kecil adalah peniru yang paling ulung. Semoga aku selalu bisa memberikan contoh yang baik untuk mereka. Menjadi kakak yang pantas diteladani dan ditiru.
Dengan jilbab ini, aku ingin memulai segalanya menjadi bercahaya. Lebih menerangi. Karena aku ingin menjadi sesuai dengan namaku. Cahaya Mata. Cahaya ini yang akan selalu aku bawa. Yang akan selalu aku berikan. Cahaya pada mataku, yang menerangi hati semua. Ayah, Ibu, catatan ini aku persembahkan untuk kalian. Semoga ada banyak hal yang bisa ku sampaikan melalui tulisan ini, kepada kalian. Terimakasih, telah melahirkan aku, membesarkan aku, dan mendidik ku sebaik yang kalian mampu. Doakan selalu diriku, agar selalu mampu menjadi cahaya ditempat manapun yang aku pijaki. Dibawah ini ku persembahkan lagu untuk kalian, meski rasanya masih belum cukup untuk membalas segala kebaikan kalian padaku sedari kecil. Namun aku berharap, jilbab ini akan selalu menuntunku pada jalan-jalan cahaya. Jalan-jalan surga...

Ku buka album biru, penuh debu dan usang
Ku pandangi semua gambar diri,
Kecil bersih belum ternoda
Pikirku pun melayang.
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang tentang riwayatku.
Kata mereka diriku selalu dimanja..
Kata mereka diriku selalu ditimang…
Nada-nada yang indah
Slalu terurai darimu
Tangisan nakal dari bibirku, takkan jadi deritanya
Tangan halus dan suci
Tlah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup, telah dia berikan
Kata mereka diriku selalu dimanja
Kata mereka diriku selalu ditimang..
Oh bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada didalam hatiku…
-Melly Goeslow_Bunda-

01.09.2013

Real




Ini bukan lagi tentang senja dan hujan.
ini juga bukan tentang waktu yang perlahan memisahkan.
Tapi ini tentang hati yang meragu.

Pada setiap perjumpaan,
Hati selalu meminta bertahan
Namun malam, mendadak beku.
Membuatku dingin dan kesakitan.

Ini bukan tentang hati yang berpaling.
Ini adalah tentang realita perasaan.
Menuntunku menjauhimu, entah kenapa.

11.11.2014

Ketika



Ketika sebuah ikatan cinta dihadirkan pihak ketiga.
Apakah cinta itu bisa melebur?
Apakah cinta itu seketika luntur?
Ketika cinta dihadapi banyak pilihan..
Apakah cinta bisa memilih dengan hati yang tulus?
Atau cenderung terbawa ego dan nafsu?
Ketika cinta akhirnya menjadi dipersalahkan
Bisakah cinta mencari jalan pembenaran?
Atau justru pasrah dan selesai?