Ini adalah kali
pertama dimana aku benar-benar berani mengambil keputusan. Bahkan saat aku
sadar bahwa keputusanku ini, tidak di setujui banyak pihak. Bermula saat aku
memasuki tahun ajaran baru di SMA. Ada
banyak sekali keunikan di SMA ini. Saat pertama kali registrasi, aku sudah
harus dihadapkan pada tes bacaan Al-Qur’an. Di nasehati banyak hal mengenai
bacaan Al-Qur’an ku yang masih tidak sesuai, terutama tentang tajwid. Pada saat
pemilihan baju seragam, aku disodori dengan pakaian batik lengan panjang.
Padahal, aku bisa memilih batik yang lengan pendek saja. Toh, inipun bukan
sekolah aliyah ataupun pesantren yang mewajibkan seluruh siswinya untuk
berjilbab, kan?
Gumamku.
Sesampainya di
rumah, aku menyiapkan segala hal untuk awal masuk sekolah. Akupun memeriksa
beberapa dokumen yang diberi oleh sekolah untuk semua siswa baru. Akupun
membaca peraturan sekolah yang menurutku sungguh aneh. Terutama untuk poin
nomor 5 ini “siswa perempuan yang mengenakan rok panjang, wajib mengenakan baju
lengan panjang dan berjilbab. Apabila di temukan pakaian lengan pendek dengan
rok panjang, maka akan di kenai sanksi.” Dengan baju batik lengan
panjang yang ku dapat, apakah aku harus mengikuti peraturan ini? Akhirnya aku
memilih untuk memotong lengan baju batikku, menjadi lengan pendek. Baju lengan
pendek inilah yang akhirnya menjadi keseharianku di sekolah.
Masa orientasi
siswa barupun, dimulai. Aku jalani semua kegiatan MOS dengan penuh keharuan.
Terutama pada acara puncak, yaitu kegiatan ESQ oleh bapak Aris Ahmad Jaya. Dari
kegiatan ini, aku mendapat banyak sekali hal positif yang secara diam-diam
menelusuk ke dalam hatiku. Di akhir acara ESQ, Pak Aris meminta semua anak
untuk menuliskan surat
yang berisi segala keinginan kita untuk membahagiakan orang tua. Aku sungguh
bingung ingin menuliskan apa. Jangankan untuk membahagiakan orang tua, bahkan
aku saja selalu mengecewakan diriku sendiri. Dalam penuh kebingungan, akhirnya
akupun menulis singkat. “Ayah,
Ibu, aku tau sudah terlalu banyak kesalahan yang sering aku perbuat. Sudah
terlalu banyak kata-katamu yang selalu aku bantah. Tetapi kali ini, izinkan aku
mengungkapkan segalanya. Mimpiku, harapmu, masa depan. Meski rasanya mustahil. Aku
ingin menjadi seseorang yang dapat membuatmu merasa bangga. Aku ingin meneruskan
pendidikan ke perguruan tinggi. Bukan sekedar untuk mendapatkan pendidikan yang
lebih baik. Tetapi aku ingin, menjadi kakak yang mampu mendidik adik-adik ku
dengan pendidikan yang lebih baik. Dengan segala pendidikan moral yang lebih
baik. Akupun ingin menjadi kakak yang kuat, tangguh, dan membanggakan. Karena
jika kalian nanti tiada, aku bisa menjadi pemimpin yang baik untuk adik-adik
ku. Menjadi kakak yang pantas di teladani dan ditiru. Maafkan anakmu yang
selalu melukai dan mengecewakan kalian.” Kulipat
kertas itu, dan ku serahkan pada panitia MOS. Tidak
peduli lagi, meski surat
itu katanya akan diserahkan langsung kepada orang tua kita masing-masing.
Usai acara ESQ,
seluruh siswa bubar. Bersiap untuk mengikuti outbound. Akupun bergegas menyiapkan diri, berganti pakaian dan
sepatu. Hingga secara tidak sengaja aku bertemu dengan seorang gadis berjilbab.
Dia Nampak resah mencari rekannya yang hilang diantara kerumunan siswa lain.
Namanya Rima. Pertemuan pertama yang hangat. Hingga akhirnya kami terpisahkan
oleh suara sirine yang mengharuskan kami semua berkumpul di aula. Kamipun
mendengarkan semua peraturan outbound,
kemudian mengikuti kegiatan outbound
dengan penuh semangat.
Kegiatan outbound dan MOS
pun usai, ditutup dengan do’a oleh guru agama kami, pak Zeky. Seminggu
kemudian, kegiatan belajar disekolah pun dimulai. Aku banyak mendapat teman
baru. Dan lagi-lagi aku bertemu dengan gadis itu. Gadis berjilbab bernama Rima.
Jam istirahat, kamipun akhirnya saling menyapa. Hingga akhirnya akupun tau, teman dekatnya
yang dulu ia cari. Namanya Juwita. Dan akupun dikenalkan dengan teman yang
satunya lagi. Dastiyana. Setelah pertemuan ini, kami menjadi semakin akrab.
Akupun merasa nyaman dengan lingkungan di SMA ini. Lebih bersahabat, lebih
islami, bahkan aku sempat kagum pada kakak-kakak kelas yang berjilbab panjang.
Mereka nyaman sekali dengan jilbabnya, tetap berprestasi dalam pelajaran.
Perjalanan demi perjalanan kami lalui. Dipertengahan semester pertama, kami
ditawari beragam kegiatan ekstrakulikuler yang ada di sekolah. Aku memilih
mengikuti paskibra. Sementara ketiga temanku memilih Rohis. Sebenarnya, ingin
sekali bergabung bersama organisasi Rohis. Namun, apakah pantas? Bukankah Rohis itu
perkumpulan untuk perempuan-perempuan berjilbab dan lelaki yang paham banyak
tentang agama? Sementara aku? Akhirnya ku urunkan niatku untuk memasuki Rohis,
dan tetap melangkah bersama Paskibra. Setidaknya, mungkin aku lebih pantas
disana.
Kebersamaan kian
berjalan. Seiring dengan keterpisahan kegiatan masing-masing diantara kami. Aku
dengan Paskibra, dan mereka dengan Rohis. Semua berseberangan. Namun,
persahabatan tetaplah persahabatan. Kami memilih menghargai kegiatan satu sama
lain. Meski banyak sekali rasa iri saat ku lihat asyiknya para anak Rohis.
Terutama saat acara Bazar Tahunan Sekolah, menjelang bulan Ramadhan. Mengadakan
banyak sekali acara sosial, keagamaan, dan masih banyak lagi. Sementara
paskibraku, hanya sekedar panas-panasan, push-up,
dan banyaknya bimbingan mental layaknya seorang calon ABRI. Aku akui, disekolah
ini meski tidak masuk Rohis. Aku tidak perlu khawatir kekurangan ilmu agama.
Karena disini, seluruh siswa muslim diwajibkan untuk mengikuti kegiatan
mentoring seminggu sekali. Namun aku merasa, itu belum cukup. Akhirnya aku
lebih banyak mendekat pada kakak-kakak Rohis. Akupun menjadi lebih aktif
bertanya, ketika mengikuti kegiatan mentoring. Bertanya banyak tentang islam.
Dan yang membuatku kagum, Mereka para mentor tidak memandang sebelah mata
kepadaku yang belum berjilbab. Mereka menjawab segala pertanyaan
keingintahuanku seputar islam. Memandangku sama, tidak membedakan atau
memprioritaskan seorangpun. Akupun terinpirasi ingin menjadi seperti mereka
saat aku sudah lulus dari sekolah ini. Akupun ingin, mengajarkan banyak hal
tentang Islam kepada adik-adik kelasku, terutama untuk adik-adikku sendiri.
Semoga suatu hari nanti aku bisa menjadi seperti mereka. Meski kini aku masih
butuh banyak belajar.
Aku
bukan hanya lebih aktif di mentoring, kini ketiga
temanku selalu saja mengajakku untuk ikut serta disetiap rapat Rohis. Dengan
berbagai cara, selalu aku tolak. Aku malu. Malu, saat aku tau bahwa mereka
telah tegas memutuskan untuk menutup aurat sebagaimana mestinya. Sementara aku?
Baju batik lengan panjang saja, malah aku potong pendek. Namun ajaibnya, aku
mulai mencoba mengenakan jilbab, setiap aku mengikuti latihan paskibra. Karena
aku ingin menjaga auratku, ketika aku kena hukuman push-up oleh para kakak kelas. Itu saja. Tetapi semua niat baik,
tidak semulus yang kita mau. Para kakak
paskib, terkejut saat melihat foto di buku paskibraku. Aku tidak berjilbab.
Berbagai sindiran pun datang. Mereka menyangka, aku berjilbab dipaskib hanya
karena aku takut jika suatu hari rambutku wajib “dipotong Dora” saat kami akan
mengikuti LKBB. Alasan yang picik!!! Namun, tak lagi ku hiraukan segala kicauan
mereka. Aku janji, aku akan berjilbab sepenuhnya. Tetapi tidak saat ini.
Menjelang
Ramadhan, aku terserang Alergi yang aneh sekali. Padahal, semula aku tidak pernah
alergi. Terutama saat dokter bilang bahwa aku alergi dingin. Dokterpun
menyarankan aku untuk memakai pakaian lengan panjang saat pagi hari. Aku kesal
dengan vonis itu. Aku tidak suka memakai jaket ataupun sweeter. Akhirnya dengan terpaksa aku memutuskan untuk memakai baju
lengan panjang ke sekolah. Meski itu berarti, aku juga harus mengenakan jilbab
ke sekolah. Berjilbab yang masih bolong-bolong. Karena aku memutuskan untuk
sehari berjilbab sehari tidak berjilbab.
Disekolah, semua
teman-teman mengira, aku sudah resmi memutuskan untuk berjilbab. Mereka
menyelamatiku. “Alhamdulillah, sekarang Nurul sudah berjilbab. Selamat ya,
semoga langgeng.” Sahut mereka padaku. Namun aku hanya senyum dan menimpal,
“belum kok, ini karena lagi sakit aja. Jadi harus pakai yang panjang-panjang.”
Berbagai wajah kecewa, ku lihat pada mereka. Ramadhan pun datang. Berbagai
kegiatan kerohanian memadati rutinitas para siswa. Sanlat, mentoring,
pengajian. Lain lagi dengan para anak Rohis, yang lagi-lagi kebanjiran banyak
kegiatan. Mengurus menjadi panitia sanlat, I’fthor jama’i, panitia Zakat,
Kultum setiap dzuhur, juga membenahi seluruh kegiatan mentoring. Aku iri. Iri
sekali.
Ramadhan
pertamaku di SMA ini, membuatku banyak terdiam. Aku berpikir banyak hal.
Tersadarkan banyak peristiwa. Aku harus melakukan perubahan. Sekecil apapun.
Ramadhan kali ini, harus menjadikan aku pribadi yang baru. Pribadi yang lebih
dewasa. Akupun memutuskan untuk memakai jilbab, meski hanya di lingkungan
sekolah. Tidak lagi memakai jilbab dengan jadwal yang bolong-bolong. Harus. Ini
perubahan pertamaku. Bismillah.
Setelah libur lebaran nanti, mereka tidak akan lagi melihat Nurul yang memakai
jilbab karena sakit. Inilah Nurul, jiwa baru yang selalu mencoba menjadi lebih
baik, dengan jilbab ini.
Liburan sekolah
pun usai. Seluruh siswa kembali belajar setelah lama sekali liburan semasa
lebaran. Dan aku, datang dengan adanya perubahan. Keterkejutan Nampak dari
Rima, teman baikku. Dia tidak percaya bahwa obrolan kami semasa Ramadhan lalu,
adalah sebuah janji perubahan. Kini akulah Nurul, jiwa yang baru dengan
jilbabku. Hari-hari terasa lebih indah dengan jilbabku. Begitu pula dengan
paskibku. Aku sudah mengganti semua foto di buku paskibku, dengan wajah baru
ini. Tidak perlu lagi ada sindiran. Aku berjilbab karena kewajiban, bukan
karena rasa takut dengan rambut yang wajib “dipotong dora”. Akupun mengganti
seluruh seragamku, dengan lengan panjang. Tidak peduli biaya yang harus ku
keluarkan sendiri. Terutama untuk membeli baju batik baru lengan panjang. Karena
inilah konsekuensi yang diberikan orangtua ku, atas keputusanku awal masuk
sekolah kemarin. Keputusan untuk memotong seragam batik menjadi lengan pendek.
Kini tiba saat
aku memasuki dunia kelas 2 SMA. Rutinitas demi rutinitas kami jalani. Sampai
pada kesempatan dimana aku bisa untuk mendaftarkan diri sebagai anak Rohis. Aku
mengikuti kegiatan pelantikan pengurus Rohis yang dilaksanakan selama dua hari.
Kebersamaan, kehangatan, ketenangan hati, dan kekeluargaan yang begitu lekat.
Bahkan aku merasa lebih nyaman berada di sini. Lebih bisa menjiwai dan memaknai
segala arti kehidupan. Di kelas dua ini, banyak sekali perubahan rutinitas yang
aku jalani. Dimulai dari diriku yang lebih menyibukkan diri di lingkungan
Rohis. Kegiatan paskibra pun, aku lepas. Dunia baru di Rohis memberikan banyak
perubahan pada hatiku, sikapku. Setidaknya, pengetahuan agamaku pun sedikit
bertambah. Kegiatan mentoring, bukan hanya menjadi kewajiban yang harus aku
ikuti. Tetapi kini, aku dan teman-temanku di Rohislah yang mengurus segala
keperluan mentoring. Mulai dari pengaturan jadwal monitoring, absensi
mentoring, sampai menghubungi kakak-kakak alumni untuk diminta sebagai mentor
para siswa. Aku senang. Lingkungan hidupku kini menjadi lebih baik, lebih
menyenangkan.
Namun sayangnya,
segala bentuk perubahan tidak serta merta diterima oleh semua pihak. Sekecil
apapun. Aku mencoba untuk mulai membiasakan diri berjilbab di lingkungan rumah.
Walau terkadang aku hanya mengenakan jilbab ketika akan bepergian jauh saja.
Tetapi, keluargaku menentang. Terlebih Ibu. Jilbab masih dipandang sesuatu yang
aneh. Meski mereka muslim dan tau bahwa perintah berjilbab tertulis dalam
Al-Qur’an. Bukan hanya ayah dan ibu, namun nenek dan saudara-saudaraku pun,
masih memandang jilbab sebagai sesuatu yang hanya dikenakan pada
situasi-situasi tertentu saja. Aku kecewa. Karena setidaknya, aku ingin tetap
menutup aurat ini kepada semua orang yang bukan muhrimku. Bukan hanya sekedar
jilbab yang dipakai ketika akan bepergian jauh saja. Pertentangan demi pertentangan
terjadi. Aku memilih diam, bungkam. Aku tau, banyaknya pembicaraan justru malah
membuatku semakin tersudutkan. Hari demi hari terlalui dengan berbeda. Bahkan
saat adikku yang pertama, mengolokku ketika tau wajahku belang lantaran ada
bagian yang selalu tertutup jilbab, dan bagian yang selalu terkena matahari.
Semua orang tertawa, akupun tertawa. Tetapi tidak dengan hatiku. Hatiku
berharap, situasi ini hanya sementara. Bahwa jika waktunya tiba, segalanya akan
diterima baik.
Tahun ini,
adikku memasuki tahun pertamanya di SMP.
Senangnya aku, ketika tau bahwa adikku lebih memilih sekolah pesantren
dibanding sekolah biasa sepertiku. Setidaknya, keinginan adikku untuk berjilbab
sudah mulai ada dari dirinya sendiri. Pertengahan kelas dua SMA, ada banyak
pemberitaan tidak mengenakkan tentang islam. Dimulai saat adanya pengeboman di
berbagai daerah di Indonesia oleh para teroris, adanya sistem cuci otak, sampai
adanya kajian-kajian agama yang banyak menyimpang. Pemberitaan ini, membuat
seluruh organisasi pergerakan islam dicap sebagai kajian-kajian pembentuk para
teroris. Termasuk Rohis. Bahkan keluargaku, dan tetangga-tetangga di rumah,
semakin menatap sinis akan jilbabku, kegiatan Rohisku. Terlebih saat aku
memutuskan untuk sedikit memanjangkan jilbabku menjadi lebih tertutup. Semua
kegiatan Rohisku semakin dibatasi. Segala sesuatunya menjadi dipermasalahkan.
Aku tidak lagi bebas dan bahagia dengan Rohisku. Namun, bagaimanapun aku harus
bertahan dengan jilbabku. Demi aku, adikku, dan keselamatan orangtua ku.
Syukurlah
pemberitaan ini kian menyurut. Meski sorotan sinis orang-orang disekitarku
tentang Rohis, masih ada. Aku bertahan. Hingga sampai pada saat ibu memarahiku
karena aku masih mengenakan jilbab meski hanya di lingkungan rumah. Entah
bagaimana caraku menjelaskan semuanya pada ibu. Saat itu. Ibu menganggap jilbab
pakaian yang hanya dikenakan ketika kita akan bepergian jauh dari rumah.
Sementara hakikat jilbab tidak seperti itu. Aku bertahan, apapun komentar ibu.
Aku harus kuat, demi adikku yang baru saja menemukan dunia barunya dengan
jilbab. Sampai suatu ketika, ibu meminta adikku untuk tidak memakai jilbab di
lingkungan rumah. Apalagi bila nanti dia sudah lulus dari pesantren. “Itu Teh
Mila aja yang pesantren, pas udah lulus mah ga pake jilbab kok. Kamu ngapain
juga pake jilbab?” ketus ibu pada adikku. Aku diam, bingung sekali harus
bersikap bagaimana. Bila saat itu aku membela adikku, jelas-jelas itu tidak
akan memperbaiki keadaan. Malah memperburuk. Akhirnya aku biarkan. Berpura-pura
tidak peduli. Sampai akhirnya adikku meminta solusi atas permintaan Ibu
kemarin. “Kak, ibu minta Lisa ga usah pake jilbab pas nanti udah lulus. Menurut
kakak, Lisa harus gimana?” Tanya adikku. Aku bingung harus menjawab apa. bukan
karena aku tidak punya jawaban. Namun disaat yang bersamaan, aku tau Ibu ikut
mendengarkan pembicaraan kami. Meski terlihat sudah tidur. Akhirnya dengan
sedikit kata-kata yang seolah tidak peduli, aku jawab “coba kamu tanya aja sama
ustadzah kamu baiknya bagaimana. Kalau kata ustadzah boleh lepas jilbab, ya
kamu ikutin aja. Itukan ustadzah kamu.” Aku tau, setidaknya jawaban pura-pura
tidak peduliku, bisa menjadi pertimbangan adikku untuk tidak mengikuti
permintaan Ibu. Karena, mana mungkin ada ustadzah yang menyarankan santrinya
untuk melepas jilbab?
Setahun berlalu,
kini adikku mulai semakin terbiasa dengan jilbabnya. Akupun sedikit lega,
karena Ibu tidak lagi banyak berkomentar tentang jilbab kami. Aku harap, semoga
Ibupun nantinya bisa mengikuti kami memakai jilbab. Mulai terbiasa. Keseharian
rutinitas Ibu yang harus menjenguk adikku di pesantren, membuat Ibu lebih
sering memakai jilbab ketika akan keluar rumah. Apalagi, ketika aku dan ibu
sering jalan bareng untuk membeli keperluan adikku di pesantren. Ibu menjadi
lebih terbiasa bepergian menggunakan jilbab, meski hanya sekedar saat berada
bersamaku dan adikku. Setidaknya itu lebih baik. Apalagi keinginan itu atas
dasar kemauan ibu sendiri, meski sedikit terpaksa. Hingga suatu ketika,
terlontar sendiri dari mulut ibu, yang membuatku cukup senang. “Nu, sekarang
Ibu kemana-kemana harus pake jilbab kalo setiap jalan sama kamu dan Lisa.” Aku
diam tidak berkomentar. Cuma tersenyum dan berucap syukur dalam hati. Alhamdulilllah… aku bersyukur sekali
akhirnya ibu mau menyadarinya sendiri. Aku harap ini permulaan yang baik dari
keadaan sebelumnya. Aku sudah berhasil membuat adik dan Ibuku mau memakai
jilbab karena kesadarannya sendiri. Meski tentu saja, masih perlu banyak
belajar. Akupun terus optimis bahwa selanjutnya, akan ada banyak orang lagi
yang terinspirasi untuk mengenakan jilbab. Setidaknya mereka sudah berhenti
berpandangan bahwa jilbab adalah sesuatu yang tabu. Dan aku bisa mengenalkan
lebih banyak tentang islam, kepada semuanya. Dimulai dari lingkungan rumah,
sekolah, bahkan lebih luas lagi.
Kini, aku
menginjak kelas tiga SMA. Ada banyak target yang harus aku capai. Mendapat
nilai rapot yang baik, nilai ujian yang baik, dan lulus sekolah dengan nilai
yang tidak mengecewakan. Satu lagi yang harus selalu ku ingat yaitu janjiku
saat awal sekolah. Janji saat aku mengikuti ESQ. Aku harus kuliah. Orangtuaku
kini sudah lebih menuntut ku memikirkan lebih dewasa tentang perkuliahan. Namun
aku, belum ada gambaran sedikitpun harus melanjutkan kuliah kemana. Aku
istikharah setiap sepertiga malam. Dikelas tiga SMA ini, aku menjadi semakin
dekat dengan Allah setiap malam. Saat semua makhluk tertidur pulas. Aku
mendekat, meminta yang terbaik. Ku ingat lagi semua dosaku pada kedua
orangtuaku. Aku memohon ampun. Banyak sekali sikapku yang selalu melawan
mereka, menyakiti hati mereka. Apalagi saat perseteruan mengenai jilbab ini.
Aku malu, merasa sangat berdosa. Ku bersihkan hatiku, menangis selama yang aku
mau. Hingga akhirnya aku merasa lebih lega, bersih. Ku munajatkan seluruh harap
dan pinta padaNya, Sang Maha Kaya, Maha Pemurah.
Akhirnya aku
memilih IPB, meski itupun atas dasar permintaan ayah. Aku harap, disana adalah
tempat yang terbaik. Setidaknya aku bisa menjadi lebih dewasa dalam memandang
kehidupan. Sebelum lulus SMA dan hijrah ke IPB, aku ditawari untuk menjadi
pengisi mentoring di SMA ku selama beberapa tahun ke depan. Aku dipilih menjadi
salah satu kandidat dari keseluruhan anak Rohis. Mungkin seharusnya aku
bahagia, karena ini salah satu impianku semasa awal SMA. Tetapi hatiku lebih
memilih sebaliknya. Aku
tau, keberpihakan ku kembali pada lingkungan Rohis, akan membuat Orangtua ku
kembali khawatir akan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan Islam yang masih
ada saat ini. aku memilih menghindar, berdiam. Aku rasa, saat ini aku cukup
menjadi sutradara dibelakang layar saja, demi menyelesaikan misiku. Membuat
segalanya menjadi diterima sempurna, untuk menjadikan jilbab sebagai budaya
yang seharusnya lebih dijiwai para muda-mudi islam, calon pemimpin masa depan.
Islam harus bangkit, maju. Dimulai dari diriku sendiri, di keluargaku.
Kini,
di awal semester pertama kuliahku, terasa begitu berat dan membuatku agak
terkejut tidak siap. Sebebas inikah dunia perkuliahan? Sebebas inikah jalan
menuju jiwa-jiwa kedewasaan? Awal kuliah ini, aku teramat hati-hati memilih teman.
Aku tidak mau salah jalan karena memilih teman yang tidak sesuai dengan hatiku.
Membuatku menjadi terasing dengan diriku sendiri. Akupun mendapat empat teman
baik dikampus, satu jurusan. Seperjalanan kuliah, aku kembali ditawari pilihan
untuk bergabung dengan Rohis, oleh temanku bernama Else. Sungguh, aku ingin
sekali menikmati indahnya dunia itu. dimana segalanya terasa tentram, terasa
selalu dekat padaNya. Tetapi, aku harus kuat dengan duniaku tanpa Rohis. Aku
khawatir, kejadian semasa SMA kembali terulang. Aku tidak ingin berseteru lagi
dengan Orangtuaku. Perseteruan yang seharusnya tidak pernah terjadi. Aku
melangkah mundur dari segala bentuk kegiatan Rohis. Lebih memfokuskan diri
untuk menyelesaikan kuliah.
Tibalah
kini saat yang dinanti semua mahasiswa. Semester akhir, sidang kelulusan dan
wisuda. Sekarang aku sedang ditahap persiapan sidang. Aku selalu berharap yang
terbaik, melakukan yang terbaik sebisaku. Hingga akhirnya aku dinyatakan LULUS.
Aku langsung mempersiapkan diri untuk mengurusi segala berkas untuk syarat
wisuda. Allah,
terima kasih telah mengizinkan aku sampai tahap berbahagia ini. Nuansa wisuda terasa begitu menyentuh, haru. Tidak
terasa sampailah aku untuk terjun ke dunia kerja. Membuatku menjadi lebih
dewasa dan lebih bisa menghargai waktu. Dunia kerja yang selalu penuh
tantangan, terutama dalam menghadapi dan bertemu orang-orang baru, kebudayaan
baru. Namun aku senang ditempat kerja ini. aku bersyukur dan aku bahagia. Dan
satu lagi kabar baiknya. Kini saudara-saudaraku sudah banyak yang mulai
membiasakan diri dengan jilbabnya. Yang paling membahagiakan adalah, adik
kecilku yang berusia tujuh tahun pun, kini mulai mengikuti caraku memakai
jilbab. Ah sungguh, anak kecil adalah peniru yang paling ulung. Semoga aku
selalu bisa memberikan contoh yang baik untuk mereka. Menjadi kakak yang pantas
diteladani dan ditiru.
Dengan
jilbab ini, aku ingin memulai segalanya menjadi bercahaya. Lebih menerangi.
Karena aku ingin menjadi sesuai dengan namaku. Cahaya Mata. Cahaya
ini yang akan selalu aku
bawa. Yang akan selalu aku berikan. Cahaya pada mataku, yang menerangi hati
semua. Ayah, Ibu, catatan ini aku persembahkan untuk kalian.
Semoga ada banyak hal yang bisa ku sampaikan melalui tulisan ini, kepada
kalian. Terimakasih, telah melahirkan aku, membesarkan aku, dan mendidik ku
sebaik yang kalian mampu. Doakan selalu diriku, agar selalu mampu menjadi
cahaya ditempat manapun yang aku pijaki. Dibawah ini ku persembahkan lagu untuk
kalian, meski rasanya masih belum cukup untuk membalas segala kebaikan kalian
padaku sedari kecil. Namun aku berharap, jilbab ini akan selalu menuntunku pada
jalan-jalan cahaya. Jalan-jalan surga...
Ku
buka album biru, penuh debu dan usang
Ku
pandangi semua gambar diri,
Kecil
bersih belum ternoda
Pikirku
pun melayang.
Dahulu
penuh kasih
Teringat
semua cerita orang tentang riwayatku.
Kata
mereka diriku selalu dimanja..
Kata
mereka diriku selalu ditimang…
Nada-nada
yang indah
Slalu
terurai darimu
Tangisan
nakal dari bibirku, takkan jadi deritanya
Tangan
halus dan suci
Tlah
mengangkat tubuh ini
Jiwa
raga dan seluruh hidup, telah dia berikan
Kata
mereka diriku selalu dimanja
Kata
mereka diriku selalu ditimang..
Oh
bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada didalam hatiku…
-Melly Goeslow_Bunda-
01.09.2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar